Rabu, 13 Juni 2018

Keutamaan Puasa Ramadhan menurut Al Ghazali


Oleh: Mohammad Roby Ulfi Zt

KETIKA Baginda Muhammad 

Saw bersabda, "Puasa itu setengahnya sabar," (HR. Imam At-Tirmidzy) dilanjutkan dengan sabda lain yang menegaskan, "Sabar itu setengahnya iman," (HR. Imam Al-Khathib dan Imam Abi Nu'aim); Berarti nyata hasil gabungan dua hadits di atas adalah "Puasa itu seperempatnya iman."

Selain sabagai mozaik iman yang berbobot, pahala puasa itu langsung dibalas oleh Allah, Republik balasan rukun Islam yang satu ini tidak ada yang tahu selain-Nya, disaat setiap ibadah kebajikan biasa bisa Allah lipat gandakan pahalanya mulai dari 10 hingga 700 kali lipat.

Bagaimana dengan pahala puasa? Sekali lagi, pahala puasa benar-benar melintas di luar batas hitungan hitungan hisab ibadah biasa, sebab, “puasa itu hanya untuk-Ku dan Akulah yang kelak membalasnya,” ujar hadits Qudsi muttafaq 'alaih riwayat Sahabat Abu Hurairah (w. 59 H / 602-679 M).

Dan karena puasa mampu melejetikan setengah potensi rasa kesabaran dalam diri kita, Allah pun telah berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS: Az-Zumar: 10)

إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan Allah senantiasa bersama mereka yang selalu besabar.” (QS: Al-Baqarah ayat 153 dan Al-Anfal ayat 47).

Tanda Puasa

Cukuplah untuk mengetahui keutamaan puasa mencampur Nabi sampai sudi bersumpah bahwa aroma mulut yang berpuasa lebih harum di sisi Allah digunakan harumnya misik, dan bahkan Allah telah memberikan fasilitas khusus bagi mereka yang rajin berpuasa; kelak mereka masuk surga dan bersua dengan-Nya via pintu yang tidak bisa dilintasi oleh selain mereka, pintu khusus ini bernama “Ar-Rayyan.”

Tidak heran, Rasul pun pernah mewartakan kepada para Sahabatnya bahwa hanya bagi orang berpuasalah dua kebahagiaan; kebahagiaan saat berbuka puasanya, dan kebahagiaan disaat bertemu Tuhannya.

Ketiga hadits tentang aroma mulut berpuasa, spesial pintu “Ar-Rayyan”, dan dua kebahagiaan orang berpuasa ini semuanya hadits-hadist shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman;

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dianggap, sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka amalkan." (QS. As-Sajdah [32]: 17).

Ada yang manafsiri bahwa yang mereka amalkan adalah puasa. Dan memang layak pahala puasa lewat benafitnya, sebab puasa -sebagaimana yang telah disinggung lewat- langsung disalurkan ke haribaan Allah Subhanahu Wata'ala, berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya.

Di sini layak juga dipertanyakan, apa yang memisahkan ibadah puasa dengan yang lain, mengajarkan berbagai kegiatan untuk Allah Subhanahu Wata'ala?

Pertama, Al-Ghazali menjawab puasa itu sama dengan masjidil Haram yang secara langsung diberi gelar "Rumah -milik- Allah" (Baitullah), padahal toh semua permukaan bumi ini Sebenarnya milik-Nya pula.

Kedua, ada dua faktor nalar statis yang hanya ibuku ibadah puasa;

Sebuah. Jika puasa itu merupakan sikap ketahanan diri dan pengabaian, di dalamnya ada rahasia (sirr) yang tidak ada di dalam ibadah lainnya yang bisa terlihat.Seluruh amal ketaatan (lainnya) bisa tersamati makhluk hidup ciptaan-Nya dan terlihat, tidak dengan puasa. Hanya Allah semata yang bisa melihatnya. Itu karena, sekali lagi, puasa merupakan amal ibadah batin dengan memfungsikan kesabaran yang menjernihkan.

b. Bahwa puasa itu pengekang musuh Allah, sebab jalur Setan (menggoda manusia) hanya melalui syahwat. Sedang syahwat hanya bisa diperkuat dengan makan-minum. Oleh karena itu, Baginda Muhammad Saw pernah mengingatkan kita, “Sesungguhnya Setan berjalan melalui aliran darah Ibn Adam, maka persempitlah kalian jalur-jalurnya dengan lapar!” (HR. Muttafaq ‘alaih) Masih mengenai puasa yang melemahkan syahwat dengan rasa lapar, suatu hari Rasulullah Saw berpetuah kepada Siti ‘Aisyah (w. 58 H/613-678 M), “Kebiasaanku telah mengetuk pintu surga.” Istri tercinta pun bertanya, “Dengan apa, wahai Baginda Rasul?” “Dengan lapar,” jawab sang rasul.

Jadi, ketika puasa khususnya mampu mengekang Setan, menyumbat jalur-jalurnya, dan mempersempit lintasan-lintasannya, maka sunggah pantaslah ibadah ini Allah spesialkan dengan menasbihkan puasa hanya untuk dan milik-Nya. Sebab hanya dengan mengekang musuh-Nya, pembelaan terhadap (agama) Allah terwujud, dan hamba yang membela (agama) Allah pasti akan ditolong-Nya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (Q.S Muhammad: 7).

Jadi, permulaan itu dengan kesungguhan perjuangan dari diri seorang hamba, dan pasti akan dibalas dengan sebuah petunjuk (hidayah) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, Allah berjanji, “Dan orang-orang yang berjuang demi (mencari keridhaan) Kami, niscaya benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabut : 69).

Allah Subhanahu Wata’ala  juga pernah menegaskan;

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d:11)

Sedangkan perubahan (ke arah lebih buruk) hanya bisa terjadi dengan memperbanyak syahwat, di sinilah ladang ketenteraman para setan dan tempat mereka berjaga. Selagi ladang syahwat ini makin subur, maka godaan mereka takkan pernah terhenti. Dan selagi mereka selalu menggoda, maka keagungan Allah Subhanahu Wata’ala takkan pernah tersibak di pelupuk mata hati seorang hamba, ia terhijab dari menemui-Nya.

Rasulullah Subhanahu Wata’ala pernah menyayangkan hal ini dengan bersabda, “Andai saja para setan itu tak mampu mengitari hati manusia, niscaya manusia pasti bisa mengamati kerajaan langit.” (HR. Imam Ahmad bin Hanbal)

Maka dari semua uraian diatas, tampaklah dengan jelas bahwa puasa merupakan pintunya ibadah menuju taman keimanan yang hakiki, sekaligus merupakan perisai seorang beriman agar senantiasa bertakwa kepada Tuhannya dan mampu mengekang kekuatan syahwat hingga Setan pun tak lagi mampu mengitari hati kita yang berpuasa. Dan diatas semuanya, hanya Allah semata yang tahu seberapa besar agungnya pahala berpuasa.

Semoga kita bisa memuasakan batin kita, selain juga jasmaninya! Wallahu a’lam.*

Penulis tengah studi di Islamic International University of Malaysia, aktif di ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia). Tulisan disadur secara bebas dari Prolog Kitab Asrarush Shaum, Ihya` ‘Ulumiddin karya Hujjatil Islam wal Muslimin, Al Imam Muhammad bin Muhammad, Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)                

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar